MENGAPA HARUS KARTINI?
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21
April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia
lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas
Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik
pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali
menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan
buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet
melalui penerbitan Koninklijk Institut voor
Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).
Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi
Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita
bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk
mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia.
Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali
melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya
sejarah, demi menatap dan menata masa depan. Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk
sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah
Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro,
Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus
dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani
sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?
Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa
Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham
makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan
ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.
Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus
Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal- muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas
dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door
Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah
Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan
Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand
idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada
zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.
Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti
bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga
berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang
(terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja
dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika
(1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.
Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang
belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di
Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884- 1972) melakukan hal yang sama di kampung
halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School
(1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia
mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan
Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan
nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan
surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia
terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang),
Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Kalau saja ada yang sempat menerbitkan
pikiranpikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih
hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku
Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh,
klaim-klaim ke terbe lakang an kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera
digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan
Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah
seorang ulama-wanita.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau
menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era
Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki
Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh
Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima
jelas bukan posisi rendahan.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa
berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak
Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia
juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda.
Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat,
Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah
membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala
kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus menda -pat
pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan
rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya
akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Bayangkan,
jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati.Putri
Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi,
kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk
menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan
bertanya, secara serius: Mengapa Harus
Kartini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar