Social Icons

Biosense Activity

Memuat segala aktivitas-aktivitas dapur redaksi biosense.

Kamis, 06 September 2018

Surat Untuk Matahari





oleh: Nila Mulyani

Ini bukan surat dari primus, bukan pula isi hati seorang Alfa Century untuk Auriga Bintang Septario. Namun ini suara hati si wanita akhir zaman untuk matahari di bulan maret. Ini hanyalah suara suara abstrak dari makluk mortal tertuju untuk mathari di bulan maret , hanya suara abstrak yang ingin ku tuangkan dalam bentuk  “tulisan paling sederhana “.  Seperti Bisma yang percaya bahwa Srikandi adalah reinkarnasi seorang dewi Amba  dan seperti halnya saya percaya matahari bulan maret seikhlas  hujan di bulan juni.
Saya bukanlah Marsinah yang mampu merebus kata lalu menguap kemana -mana. Bukan Nirbita sang padang  bulan yang sangat anggun dalam tulisannya,   saya hanyalah orang yang tidak konsisten dalam membahasakan diri sebagai “ aku atau saya”. Matahari itu paling puitis, kedatangannya di sebut fajar dan kepergiannya di sebut senja. Fajar itu harapan karena bersama sinar paling puitis dia membawa semangat dan hari baru untuk seluruh komponen biotik dan aboitik di alam ini. Senja itu ketenangan, karena bersama senja kita menyaksikan elemen puitis itu lenyap ke peraduan. Matahari itu  selalu pengertian, karena bersama kepergiannya dia membri kesempatan kepada bulan dan bintag untuk menunjukkan eksistensinya, matahari tidak pernah benar -benar pergi. Kepergiannya selalu menyisakan janji bahwa dia pasti kembali. Suara yang hendak kusuarakan ini bukanlah melulu tentang perasaan terhadap  makhluk berbeda gender. Namun ini suara untuk matahari di bulan maret.
Kata Sapardi Djoko Damono dalam sajaknya “dongeng  marsinah”
Waktu memang tak pernah kompromi
Yang sangat cermat dan hati hati
Marsinah itu arloji sejati , tak lelah berdetak
Meminta kefanaan yang abadi.
Yah waktu memang tak pernah kompromi , waktu yang telah lalu di sebut “pengalaman” dan waktu yang akan datang di sebut "  masa depan”. “Waktu” itu yang  paling  kuat karena dia tak akan pernah kembali dan waktu adalah yang tiba tiba  karena bersama waktu ada ruh yang telrepas dari raga, bersama waktu ada yang berhijrah ke jalan yang di ridhi-Nya, bersama waktu pula banyak hal tak terduga yang menghampiri. Waktu selalu menghampiri semua komponen di alam semesta, waktu tak pandang siapa engkau, waktu pasti mengghampiri ku . Aku terlalu keluh dalam mengucapkan kata, Maka dari itu biarkan saja melalui tulisan sangat sederhana ini ku suratkan Untuk “Wanita terhebat” dalam hidupku yang ku sebut matahari di bulan maret, aku mencitaimu karena Allah.(NM)

Jumat, 18 Maret 2016



INFORMASI PENDAFTARAN ANGGOTA BIOSENSE

PENDAFTARAN : 19 Maret - 23 Maret 2016
PERSYARATAN :
·         Mahasiswa Jurusan Biologi Sains dan Teknologi yang mengikuti semester berjalan
·         Mahasiswa semester 2 dan 4.
·         Loyal, bertanggung jawab dan mampu bekerjasama dalam tim.
·         Memiliki ketertarikan di bidang jurnalistik.
·         Melampirkan foto 3 x 4 terbaru sebanyak 2 lembar.
·         Mengisi form pendaftaran di https://docs.google.com/…/1KuBasq5JjgEGGFapv9OeEdXjYm…/edit…

INFORMASI PELATIHAN DAN SELEKSI DIMUAT SETELAH PERAMPUNGAN DATA PENDAFTAR.


Untuk informasi lebih lanjut :
Blog HMJ biologi          : 
http://hmjbiologisaintekbiosense.blogspot.co.id/
Twitter                           : .@hmj_biologi

Facebook                      : Hmj biologi saintek
Email                             : hmjbiologiuinalauddinmakassar@gmail.com

Minggu, 10 Mei 2015

Karena Mereka Tidak Sama


Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya.
Memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti.
Memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan.
  ðŸ‘ ðŸ‘¢ðŸ‘ ðŸ‘¢
   
Kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi.
👞👟👞👟



Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.
”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,
“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.
”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.
“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.
”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“
“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.
‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.
‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”
Dalam Dekapan ukhuwah kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah (Persaudaraan)
berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah (persaudaraan), segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

Sepenuh cinta,
Salam Lestari..

Selasa, 21 April 2015

Mangapa Harus Kartini..?

MENGAPA HARUS KARTINI?

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet
melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. 

Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan. Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?

Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal- muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884- 1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiranpikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim ke terbe lakang an kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman  yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus menda -pat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.


Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati.Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius:  Mengapa Harus Kartini?

Sabtu, 29 Juni 2013

OSMOSIS 2010


Sebuah cerita tentang pertemanan, persahabatan, suka, duka, canda dan tawa. Kisah dari perjalanan menuntut ilmu demi masa depan. Di sinilah kisah kami berawal.

Tepat pada bulan september tahun 2010, ketika seluruh kampus diramaikan dengan hadirnya mahasiswa baru yang berkeliaran menenteng map berisikan formulir pendaftaran. Hal itu juga terlihat di kampus peradaban yang berada di tengah desa Samata, kampus yang megah dengan bangunan tinggi menjulang ke langit. Matahari yang cerah menjadi saksi perjuangan anak bangsa yang memiliki semangat tinggi ingin merasakan dinamika perjalanan menjadi mahasiswa. Pada saat itulah kisah OSMOSIS pun dimulai, pertemuan insan yang aneh, unik, dan banyak jenis makhluk.



Akan kuceritakan awal dari kisah ini kawan, berjumlahkan kurang lebih 50 orang kami pun terhimpun dalam jurusan Biologi, jurusan yang mungkin bagian dari yang diimpikan teman-teman, namun adapula yang menganggap ini hanyalah bagian dari takdir yang harus mereka terima. Masih jelas dalam ingatan kami bagaimana kami berkumpul pada kuliah perdana yang dibawakan oleh dosen terbaik kami ibunda Fatmawati Nur Khalik, S.Si, M.Si. bertempat di LT Fakultas Santek, di tempat itulah kami pertama kali duduk sebagai seorang Mahasiswa yang tidak lagi diajar oleh guru namun Dosen, yang tak lagi berseragam namun bebas berpakaian, waoo keren kak jadi Mahasiswa. Hari itu mata kami melotot dan seperti tak ingin berkedip ketika kami diceritakan sejarah, bagaimana dinamika kampus yang akan kami temui, dan yang terpenting akan jadi apa kami ini. Ada kutipan yang kami dapatkan hari itu “Kalian bisa jadi apa saja, jadi jangan takut menjadi saintis”, kata Bu Fate. Dengan wajah polos kami pun bertepuk tangan dengan wajah riang dan penuh harapan, bersyukur karena Tuhan meletakkan kami di tempat yang tepat.

Waktu ternyata tak mampu lagi menyapa kami dengan baik, tak terasa kami pun sudah berbulan bulan dengan aktivitas yang nyaris mengalahkan kesibukan karyawan di kantoran. Berbekalkan sebuah mesin TIK yang kami tenteng ke mana pun, inilah kali pertama kami berhadapan dengan laporan. Perlahan jumlah kami mengikis, ada beberapa teman yang gugur dalam perjuangan. Laporan pun menjadi sahabat baru kami yang bahkan mendapat seluruh perhatian kami, semester demi semester berlalu hingga tanggga proses itu mampu kami lalui, penuh suka dan duka. Cerita duka sangatlah sering terukir ketika praktikum berjalan, tak jarang dari kami yang mengalami pertengkaran hebat ketika sudah bicara masalah bahanlah, laporanlah ataupun karena kurang kompak. Apalagi kalau bicara masalah copy paste yang menjadi budaya di setiap angkatan, ahh kalau bicara masalah praktikum selalu saja cerita duka, tangis tapi terkadang juga kita gila-gilaan.

OSMOSIS... itulah nama angkatan yang diberikan pada kami, osmosis itu adalah perpindahan konsentrasi tinggi ke rendah. Intinya osmosis itu kemerataan atau kesamaan, itulah kami... berbeda asal, berbeda pendapat, beda khasta, beda juga dalam hal ekonomi, namun kita satu dalam tujuan. Meskipun di dalam kelas terdapat jenis manusia, ada yang cinta banget ama buku, ada yang suka benget organisasi, dan ada juga yang aktivis. Tapi kami selalu kompak dalam hal akademik, kami juga selalu cekatan dan cepat respon kalau sudah menyangkut masalah wisudalah, sarjana dan toga. Impian kami adalah impian mulia, ingin cepat selesai dan menyandang gelar agar senyum bahagia orang tua kami dapat kami lihat, agar usaha mereka terbayar.

Sekarang, di tahun 2013. Di tahun inilah selangkah lagi menuju impian kami, di penghujung tahun, seluruh warga Osmosis digemparkan dengan judul skripsi, lalu lalang jurusan untuk konsult. Selangkah lagi kami akan berdiri menyandang gelar sarjana dan memegang toga. Tak jarang lika liku itu kami temui, pedisnya tusukan kerikil yang menusuk kaki kami ketika berjalan menuju tujuan. Itulah dinamika perjalanan dan proses yang akan ditemui di manapun, karena laut yang tenang tidak menciptakan pelaut yang tangguh namun laut yang berombak akan menciptakan pelaut yang tangguh.

Inilah pose terbaru dari angkatan Osmosis, di tengah kesibukan yang menumpuk karena laporan, kami tetap tersenyum. Senyum lebar karena kekenyangan setelah menyantap indomie di Indofood dan yang paling penting karena mie nya bisa dibawa pulang. 

Hahahha,.. Ini cerita seputar Osmosis dan episode pertama, untuk cerita selanjutnya ditunggu yah... jangan pernah takut bermimpi kawan, meski orang berkata kalau jaman sekarang itu adalah dunia tawa atau yang real real ajha dehh nggak usah banyak mimpi.  BUT Remember it kawan,.. hanya orang kecil yang punya mimpi kecil, dan hanya orang besar yang punya mimpi besar (Hajrah).

Sabtu, 01 Juni 2013

BINGKAI KENANGANKU

2 Juni 2013 oleh MUCHLIS RAHMAN


1 dekade qt lalui hari bersama….
Melewati rintang penuh suka..dan duka……
mengarungi tiap rintangan yang ada…….
Walau harus terjatuh..dan terluka…….

Kita tetap saling bergandengan tangan
warnai hari penuh makna…,,,,
Mengukir tetesan kenangan indah yang tak akaan ku lupa dalam bingkai kenangan yang ku beri
Kawan.....

Akankah bingkai kenangan ini bisa terulang?
Saling  Bergandengan tangan
Tertawa dalam bingkai bahagia……
Bercanda dalam bingkai ceria…….
Melemparkan sejuta senyum penuh warna…..
Dalam bingakai kenangan kita
Kita telah mengukir mimpi bersama…….

Tuhan…….
Akankah kau beri kesempatan bingkai kenangan indah  ini lagi…?
Meskipun aku sadar tak pernah mengucap kata syukur untuk bingkai kenangan indah dirimu.....

Mungkingkah aku hanya bisa berharap pada bingkai kenangan ini
Atauka aku akan  melanjutkan bingkai kenangan ini dengan senyum kemunafikan
Hingga semua orang tau aku bahagia karena itu…….

Ataukah ku harus meninggalkan bingkai kenangan ini
Agar kelak kalian bisa lebih leluasa memberi sejuta warna kenangan dalam bingkai itu

Kita begitu berbeda dalam semua,

Kecuali cinta……

BINGKAIKU


Inilah bingkai yang ku buat…

dengan semangat....

dengan ide jenius,,,,

dibumbui tetesan keringat yang tiada henti


lihatlah bingkai ini kawan...

ku buat hanya untukmu

di dalam jiwa yang melayang

dengan sedikit senyuman dariku 


Terimalah bingkaiku ini kawan.....

Dan isilah dengan gambar yang penuh kenangan

Yang pada akhirnya dengan gambar itu

Entah kau akan lupa dengan orang yang memberi bingkai

Atau untuk kalian kenang dan tulis dalam hati

Bahwa ini bingkai dariku


terima kasih kawan...........

 

Sample text

Sample Text